Selasa, 15 Januari 2013

Mengenal Lebih Dekat Tentang Papua

Seni Budaya Papua


Budaya Papua Seni Kebudayaan Tradisional Daerah Papua Indonesia - Provinsi Papua yang terletak di ujung timur negara Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang unik dan menarik. Yuk, kita kenal kebudayaan Papua sebagai salah satu kekayaan budaya indonesia seperti alat musik tradisionalnya, Tarian Tradisional dan kesenian lainnya yang terdapat di Papua. Baca juga tempat wisata di Papua

Seni dan Budaya Papua Indonesia

Alat Musik Tradisional Papua
Ada Salah satu nama alat musik tradisional yang paling terkenal yang berasal dari Papua yaitu Tifa. Alat musik Tifa merupakan alat musik tradisional yang berasal dari daerah maluku serta papua. Bentuknya alat musik Tifa mirip gendang dan cara memainkannya Tifa adalah dengan cara dipukul. Alat musik Tifa terbuat dari bahan sebatang kayu yang isinya sudah dikosongkan serta pada salah satu ujungnya ditutup dengan menggunakan kulit hewan rusa yang terlebih dulu dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Alat musik ini sering di mainkan sebagai istrumen musik tradisional dan sering juga dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional, seperti Tarian perang, Tarian tradisional asmat,dan Tarian gatsi.

Tarian Tradisional Daerah Papua
Terdapat berbagai macam tari-tarian dan mereka biasa menyebutnya dengan Yosim Pancar (YOSPAN). Di dalam tarian ini terdapat aneka bentuk gerak tarian seperti tari Gale-gale, tari Pacul Tiga, tari Seka, Tari Sajojo, tari Balada serta tari Cendrawasih. Tarian tradisional Papua ini sering di mainkan dalam berbagai kesempatan seperti untuk penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing yang datang ke Papua serta dimainkan adalah dalam upacara adat.

Pakaian Adat Tradisional Papua
Pakaian adat Papua untuk pria dan wanita hampir sama bentuknya. Pakaian adat tersebuta memakai hiasan-hiasan seperti hiasan kepala berupa burung cendrawasih, gelang, kalung, dan ikat pinggang dari manik-manik, serta rumbai-rumbai pada pergelangan kaki.

Rumah Adat Papua
Nama rumah asli Papua adalah Honai yaitu rumah khas asli Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Bahan untuk membuat rumah Honai dari kayu dengan dan atapnya berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah tradisional Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak berjendela. Umumnya rumah Honai terdiri dari 2 lantai yang terdiri dari lantai pertama untuk tempat tidur sedangkan lantai kedua digunakan sebagai tempat untuk bersantai, makan, serta untuk mengerjakan kerajinan tangan.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&sqi=2&ved=0CHIQFjAJ&url=http%3A%2F%2Fseninusantara.blogspot.com%2F&ei=dEj2UOrRHI6PrgemmIGIBg&usg=AFQjCNFa0buSc_YT8Zf48qkXE2ogPnkEsQ&sig2=dpfROknODafVo9uGbLUPYw&bvm=bv.41018144,d.bmk 

Tarian Indonesia yang Mendunia

Indonesian Dance Festival: Festival Tari Bertaraf Internasional

Bagai disergap kesunyian saat tari Bedhaya Diradameto membuka pertunjukan malam itu. Bedhaya Diradameto merupakan tari yang sudah berusia hampir 100 tahun, bagian dari seni tari Keraton Mangkunegaran Surakarta, dan tidak pernah dipentaskan ke hadapan publik sebelumnya. Tariannya mengisahkan pertempuran penuh keberanian Pangeran Sambernyawa dengan tentara VOC di Sitakepyak, selatan Rembang. Selain itu ada pula koreografer Belanda, Gerard Mosterd, ikut mementaskan karyanya dalam libreto berjudul L'Historie du Soldat, yang dibawakan secara jenaka. Melibatkan penari Eko Supriyanto, Martinus Miroto, Sri Qadariatin, dan narator Jamaluddin Latif. Indonesia Dance Festival (IDF) memasuki tahun penyelenggaraan kesebelas. Sebagai sebuah festival tari berskala internasional, IDF hendak merangkul masyarakat tari Indonesia, baik penari tradisional maupun kontemporer. Tahun ini yang diusung adalah Indonesia Menari. Selama sembilan hari ke depan IDF akan mementaskan karya para penata tari yang antara lain asal Indonesia, Jepang, Korea, Jerman, Aljazair, Taiwan, Finlandia, Inggris, Perancis, Tunisia, Belgia, dan Kamboja. Gelaran pentas direncanakan setiap hari di berbagai tempat yang berbeda, yakni Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dan Institut Kesenian Jakarta. Sementara sejumlah acara dalam rangka IDF telah digelar sejak bulan Februari lalu. Rangkaian kegiatan itu seperti seminar tari, lomba tari, dan bengkel kerja koreografi. Gerakan Indonesia Menari ini diusung oleh Djarum Apresiasi Budaya, Indonesian Dance Festival (IDF), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta, serta Ikatan Abang None Jakarta (IANTA). Tujuannya untuk menarik masyarakat Indonesia kembali mencintai budaya tari yang hampir dilupakan oleh masyarakat. "Menari adalah pesan yang ingin disampaikan sepanjang rangkaian acara ini. Sebab tarian selalu identik dengan kegembiraan, keluwesan, dan harmonisasi. Menari sama seperti mengajak semua warga untuk kreatif membangun bangsa karena keluwesan tak hanya diciptakan oleh gerakan tubuh tapi juga pola pikir," tutur Maria Darmaningsih, Direktur IDF. Ia menambahkan, tarian mengasah kepekaan insan dalam merayakan kehidupan. Bila rasa peka itu hilang, kita juga kehilangan empati kepada lingkungan sekitar kita. (Gloria Samantha. Sumber: Kompas)
 http://seninusantara.blogspot.com/

Rabu, 09 Januari 2013

Mengingkari Keagungan Teater



Pertunjukan RAMBUT PALSU, karya Peter Karvas oleh Teater Cassanova
Pada kebermulaannya teater adalah sebuah kebersamaan yang saling meluruhkan tubuh dalam sebuah entitas yang saling telanjang. Teater merespon “ketidaktahuan teks”dalam sebuah media yang paling intim, yaitu tubuh. Era sentralisasi seni yang cenderung meniadakan “gejala” di luar dirinya (Romantisisme seni) masih “menggejala” pada hari ini, yaitu bahwa kebenaran dunia hanya dapat ditunjukkan melalui perbendaharaan kebudayaan salah satunya seni, khususnya teater. Kemiskinan konteks ini menjadi dalih bahwa seni masih sanggup menginterupsi ruang normatif, padahal senyatanya masalah geo-politik di luar kesenian sudah sangat “interupsionis” terhadap keseharian masyarakat. Seperti halnya dunia sains telah begitu “tragis” semenjak ditemukannya virus ebola, kebocoran lubang ozon, bayi tabung dan Bank sperma, lalu hal “teatrikal” apalagi  yang mesti diciptakan ulang oleh seniman.

Kesadaran membaca “Otherness” yang mulai ditinggalkan oleh visi-misi berkesenian para seniman mengakibatkan“kemandulan konteks”, dan “kemiskinan adaptasi” akhirnya menggerogoti diri kesenian itu sendiri, dan akhirnya seni mulai ditinggalkan masyarakat karena banyak hal-hal yang lebih tragis terjadi dengan cepat di luar wacana tentang seni. Namun dalam pertunjukan teater “RAMBUT PALSU” karya Peter Karvas yang dipentaskan oleh kelompok Teater Cassanova di GK Dewi Asri STSI Bandung pada tanggal 23 Oktober 2012 adalah proses mengkaji sekaligus mencipta ulang romantika seni, mereka menyiasati ketertinggalan seni khususnya teater pada saat ini dengan menggunakan “strategi konteks”.

Penyadaran organisasi konteks itu dapat kita lihat dari peluruhan “keagungan menara teater” itu sendiri, teater bersentuhan secara langsung dengan denyut masyarakatnya secara luas, teater kembali menjadi heterogen justru karena “keagungan itu diingkari oleh teater”. Keruntuhan menara gading teater dijadikan sebuah ruang tanpa batas “homo-hetero” dalam pertunjukan RAMBUT PALSU, mari kita lihat bagaimana proses pemecahan “kemiskinan konteks” yang melanda dunia kekinian coba direformulasi oleh pertunjukan ini.

Pemusatan yang Terpecah-Pecah
Secara adaptatif keterpecahan sudah dimulai dengan hadirnya revolusi komunikasi yang ditandai dengan munculnya handphone dan juga internet, serta perangkat canggih telekomunikasi lainnya, akhirnya kebudayaaan dan kesenian kita tidak lagi ditentukan oleh sistem keterpusatan namun oleh  retakan dan pecahan komunikasi yang tersebar. Maka persepsi teater tidak lagi bisa seragam karena dia telah melewati proses keterpecahan komunikasi yang beragam, negatifnya adalah bahwa ketidak-terpusatan ini menjadikan ontologi teater tercerai berai, menjadi buih yang beragam namun juga cepat hilang, hingga pusat menjadi kosong dan kering, sebab telah direbut oleh pecahan-pecahan informasi di luar dirinya.

Menyiasati keterpecahan itu pertunjukan RAMBUT PALSU memakai sistem “tanpa pusat” justru untuk “memusatkan keterpecahan”. Praksisnya kita dapat melihat dari berbagai kalangan yang hadir dalam pertunjukan rambut palsu, berbagai kalangan tersebut menjadi penanda dari kemacetan penonton teater yang melulu hanya ditonton jika tidak oleh orang teater itu sendiri,  seniman atau paling tidak orang yang pernah memiliki relasi dengan kegiatan teater, selanjutnya adalah kesunyian publik teater yang hanya berkutat di sekitar dirinya.

RAMBUT PALSU dari perspektif relasi seniman dan penonton telah berhasil menyedot “dunia ketiga” yang terpecah-pecah tersebut dalam sebuah “keintiman ala teater yang memusatkan”. Ini adalah strategi yang tentu menjadi salah satu tawaran bagaimana teater bersentuhan dengan berbagai keterpecahan informasi, bagaimana seniman selain sebagai penyaji juga pengkaji yang mengolah strategi dalam menghadapi realitas tesebut.
Publik Teater Pasca-Drama
Secara bentuk RAMBUT PALSU adalah konvensi drama yang amat akademis, ini dapat dilhat dari begitu “matematis-nya” struktur drama yang berbau BABAK juga EPISODIK, namun Wanggi Hoediyatno sebagai Sutradara tidak hanya ingin menyuguhkan dunia keteraturan tersebut secara mentah, dia mencoba menggagas pengalaman tekstual akademisnya dengan pengalaman konteksual kesenimanannya, sebagai salah satu produk resmi akademi teater yang formalistik, Sutradara Wanggi Hoediyatno dan Penata artistik Rackasiwa Priwansa sudah lebih dahulu dikepung oleh berbagai proses pemusatan yang berorientasi pada pedagogi yang drama-sentris, ini adalah penciptaan yang paradoks sebab menyejarah dalambegitu panjangnya kesimpang-siuaran antara drama dan teater di indonesia, hingga mengapa akhirnya teater modern indonesia selalu berbau “Drama”, meski sejarah teater-nya telah panjang terbentuk sebelum lahir kebiasaan mencatat (drama) dan menghapal drama ini hadir. RAMBUT PALSU sendiri adalah drama yang ditulis oleh Peter Karvas yang bercerita tentang sejarah pembantaian ummat Yahudi yang direka oleh Kaum Nazi, namun secara alegoris pengaburan atas campur tangan seni diproyeksikan dengan Nazi sebagai“kaum berambut”dan yahudi sebagai “kaum botak”, kemuliaan aryasentrisme ditunjukkan dengan RAMBUT dan ketidak-muliaan Yahudi ditandai dengan TANPA RAMBUT.

Wanggi Hoediyatno yang dikenal sebagai seniman pantomime ini membuat sebuah ruang kreasi baru, yang saya sebut adalah “serba-serbi performance pasca-drama”, ini dapat kita lihat dari awal kehadiran menonton, bagaimana pertunjukan yang diadakan di Gedung kesenian Dewi Asri STSI Bandung dibuat sangat berwarna secara bentuk dan praksis, pada jalan yang dipakai untuk memasuki GK Dewi Asri kita disuguhi oleh motor-motor besar ala eropa kuno yang menandakan sebuah perburuan kaum-kaum botak.  Raungan dari motor sebagai sihir pertama teater, manjur mengundang rasa ketertarikan pada apa yang akan terjadi selanjutnya, mengolah rasa kepenasaranan yang dimiliki oleh reka-kreasi seniman berhasil membuat sesak dan penuh oleh penonton di latar parkrir GK Dewi Asri, lalu setelah itu kita memasuki gedung bawah Dewi Asri yang sudah dipersiapkan dengan instalasi-instalasi mayat-mayat yang diwarnai dengan bambu-bambu runcing mengoyak daging-daging korban pembantaian, sebuah sawah mayat, tentu dengan tembakan mutimedia bergambar korban-korban yahudi yang orisinil sebagai salah satu tanda keterpecahan antara kemurnian teater dan sebuah dunia visual yang kini menjadi entitas baru dalam pengucapan tekhnik seni teater.

Lalu kita menuju ruang utama pertunjukan di mana terlihat pembagian keterpecahan tersebut berlanjut dalam ruang utama pentas, di sana penata artistik Rackasiwa Priwansa membagi elemen pentasnya menjadi 3 hall utama, yaitu kantor para tentara kaum berambut, dia rupakan dengan bentuk kantor yang kelam dan kaku, padat dengan bebatuan granit yang keras dan mengancam, lalu tempat  kaum botak yang dihadirkan di tengah-tengah penonton seperti sebuah “interupsi ruang” yang tiba-tiba hadir di samping penonton, kenyamanan yang biasanya hadir dalam hubungan komunikasi yang saling mengamankan, tekhnik normal dimana penonton aman dan nyaman menonton teater, aktor nyaman melakukan aksinya di buat tidak-netral oleh Wanggi.

Ruang musikal sendiri menjadi olah atraksi yang cukup kreatif, penempatan pemusik yang kali ini dibuat seperti mini-orkestra yang dibuat berdekatan dengan kursi penonton secara bersama-sama mencairkan ketegangan yang telah terpecah-pecah, bagaimana ruang penahanan, kantor dan tempat musik menjadi sangat menyatu sekaligus terpecah, realitas dunia ketiga telah masuk menjelajahi bentuk teater, nilai positif yang dapat diambil dari keterpecahan komunikasi betul-betul disadari dan diolah dengan baik oleh sang penggarap. Lalu kita lihat Bagaimana inti-drama yang menaruh kekuatan akting sebagai narasi sihir ini dimainkan? Aktor yaitu Ad Akbar, Wail Irsyad, Wawan,  Aldino dan Ridwan Anugerah mempresentasikan kejenakaan tentang pembantaian manusia dengan intensitas laku yang sederhana, fase demi fase.

Fase komikal dapat kita lihat dari perwujudan Wail Irsyad yang dengan serius mengolah mimik aktingnya dalam sebuah konfigurasi ajudan yang mentah-mentah menaati jendralnya, dia sangat setia dan juga mengolah tubuhnya secara intensif. Pergerakannya amat naturalistik, dengan takaran yang bertumbuh, lalu kita lihat bagaimana Ad Akbar yang memainkan Jendral Hog bermain dalam keteraturan seorang Jerman-barbar, jendral tua tersebut  bergoyang, berjungkit, juga mengalun dalam representasi kecapaian dan kelelahan, yang dia sampaikan secara clowny, peran-peran tersebut menjadi sangat sinergis dengan tembak menembak antara musik dan akting, terjadi kesatuan yang justru mengembalikan khazanah kelenturan seni pertunjukan seperti teater tradisi longser jawa barat, teater ketoprak di betawi atau bahkan “commedia d’la arte” di Itali yang begitu kaya akan spontanitas, hanya bedanya spontanitas RAMBUT PALSU, adalah spontanitas yang direncanakan dan dilatihkan.

Akhirnya pertunjukan ini menjadi tidak berbatas, dan terlihat tanpa babak, sangat halus dan menjanjikan sebuah peristiwa teater yang membumi dan tidak berpretensi memuliakan teater sebagai menara gading, keseragaman dan pemusatan yang memasung “the otherness.” Memang sudah seharusnya era dunia ketiga, ditanggapi dan diakhiri oleh praktisi teater dengan strategi dan siasat keterpecahan, agar komunikasi yang semakintanpa pusat di era ini dapat kita ambil nilai positifnya, bagaimana konsentrisme teater yang gagap berhadapan dengan dunia televisi dan film dikaji secara bermain-main, tidak tegang namun justru memanfaatkan jejaring mereka. Perlu ada kesadaran bahwa kebudayaan tidak lagi bersumber dari penciptaan seni saja namun menyejarah berjejaring  luas, terkait dengan kondisi politik dan sains yang lebih radikal.

Penulis: Riyadhus Shalihin
Foto: May Lodra Nurohma

 http://www.indonesiaseni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=821:mengingkari-keagungan-teater&catid=13:peristiwa-pertunjukan&Itemid=39

Berbagi dan Memperbarui Semangat Kebhinekaan

Kesenian Reog, Kesenian Indonesia

Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya. Mulai dari Sabang sampai Merauke tersebar hasil olah karya bangsa Indonesia. Salah satunya yaitu kesenian Reog. Reog sebagaimana kita ketahui adalah hasil karya anak bangsa  Indonesia yang telah berumur ratusan tahun. Reog bukanlah milik negara lain.  Bukan hasil olah budaya bangsa lain. Apalagi milik negara tetangga kita. Tetapi kesenian Reog adalah milik kita, bangsa Indonesia.
Reog adalah kesenian asli Indonesia yang pertama kali berasal dari Ponorogo. Sekarang ini kesenian Reog sudah tersebar di mana-mana. Reog sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Di Ngawi saja ada kesenian Reog. Saya jumpai seniman Reog yang berada di desa Klitik.

Kesenian Reog. Sumber gambar : tourdevanjava.com
Seminggu yang lalu tanggal 25 Juni 2012, di desaku menggelar pagelaran Reog. Pegelaran itu dalam rangka “Nyadran” atau bersih desa di desa saya, desa Kartoharjo. Kesenian Reog masih diminati oleh masyarakat. Buktinya warga masyarakat di desaku banyak yang melihat kesenian Reog tersebut. Mulai dari anak-anak hingga orang tua tak ketinggalan menikmati kesenian Reog. Itu menunjukkan warga masyarakat (di desaku) begitu antusias menikmati kesenian Reog. Saya pun tak ketinggalan untuk menyaksikan pagelaran Reog tersebut.
Negara kita pernah mempunyai catatan kelam tentang kesenian Reog. Beberapa tahun yang lalu, Reog pernah diklaim oleh negara lain. Reog kita sempat diakui milik negara lain. Negara itu adalah negara tetangga kita, Malaysia. Negara yang juga berbatasan langsung dengan Indonesia. Hal itu membuat gempar masyarakat Indonesia (mungkin juga dunia).
Negara yang ingin mengklaim hasil budaya kita adalah negara yang minim budaya. Mungkin juga tak berbudaya. Budaya kita lebih kaya dibandingkan dengan dengan budaya negara-negara tetangga kita. Sehingga negara tetangga kita berusaha untuk merebut kebudayaan dari negara kita.
Untuk menghasilkan suatu kebudayaan tidak semudah membalikkan telapak tangan kita. Kebudayaan tidak bisa diciptakan begitu saja. Artinya, untuk menghasilkan suatu kebudayaan diperlukan pemikiran. Diperlukan pengorbanan. Dan pemikiran itu tak hanya sekedar pemikiran. Kalau hanya sekedar pemikiran saja mungkin hasil budaya itu tidak atau kurang memiliki nilai.
Seperti kesenian Reog yang memerlukan pemikiran yang tak sekedar pemikiran. Maka dari itu Reog memiliki nilai seni yang tinggi. Bagaimana jika kesenian Reog diklaim atau dicuri oleh negara lain? Tentu saja kita (Indonesia) pasti rugi besar. Bagaimana tidak, kesenian Reog memiliki nilai seni yang tinggi. Bisa jadi kesenian Reog kita tak ternilai harganya.
Agar budaya kita tidak dicuri oleh negara lain, kita selayaknya peduli akan budaya kita. Apalagi itu adalah budaya yang positif. Budaya yang membangun bangsa. Yang lebih berperan penting dalam kelestarian budaya atau kesenian negara sendiri adalah pemerintah kita sendiri. Pemerintah selayaknya peduli dengan kesenian kita.
Pemerintah jangan tinggal diam jika kebudayaan kita dicuri atau diklaim oleh negara lain. Seperti dalam kasus Reog kita yang pernah diklaim oleh Malaysia. Akan lebih baik bila pemerintah mendaftarkan atau mematenkan kebudayaan atau kesenian kita. Maka kesenian kita akan diakui oleh dunia internasional. Kesenian kita bisa mendapatkan apresiasi oleh negara lain.
Untuk melestarikan kebudayaan, pemerintah bisa melakukan regenerasi kepada generasi penerus. Contohnya, kesenian atau kebudayaan itu diajarkan kepada para pelajar kita. Mereka masih muda jadi dapat mewarisi kebudayaan asli Indonesia. Apa jadinya bila seniman Reog sudah berusia lanjut tetapi generasi muda tidak mengerti akan kesenian Reog tersebut. Mungkin Reog bisa punah. Kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi.
Bila kita mencintai kebudayaan Indonesia khususnya Reog, maka masyarakat kita akan tetap peduli akan kelestarian Reog tersebut. Minimal seperti saya, mau menonton pagelaran Reog meskipun saya tidak bisa memainkan Reog. Hehehe…
Akhirnya, semoga kesenian Reog kita tetap lestari. Reog kita bisa diterima dunia Internasional.  Tidak ada yang mengklaim Reog kita (lagi).

seni dan budaya sebagai perekat keutuhan bangsa berbhineka


Di sinilah kesempatan kalau kita mau membangun bangsa secara bersama-sama melalui budaya karena dengan budaya-lah kita menjadi besar dan kuat.
Sejak Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tarian tor-tor, serta beberapa budaya lainnya yang hampir diklaim oleh Malaysia, tampaknya akhir-akhir ini bangsa Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah mulai berbenah diri. Dalam artian, kekayaan-kekayaan budaya yang terkandung dalam rahim bangsa yang sudah ada sejak zaman leluhur, satu per satu mulai diperhatikan, didata, dilestarikan, dan dikembangkan. Hal tersebut dilakukan selain untuk menjaga kebudayaan sebagai kekayaan bangsa, juga untuk menumbuhkembangkan dan memanfaatkan kebudayaan tersebut sebagai aset kemajuan bangsa.

Salah satu bukti dari usaha untuk menjaga, mendata, merawat, melestarikan, dan mengembangkan budaya tersebut, seringnya digelar perbincangan, atau dialog tentang kebudayaan. Seperti kali ini yang dilakukan oleh Komunitas Negeri Limadaya yang mengadakan dialog kebudayaan. Dialog yang mengangkat tema "Seni Budaya Nusantara sebagai Lumbung NKRI" tersebut menghadirkan Bambang Wibawarta (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI), Muh Hanif Dhakiri (Komisi X DPR RI), serta Radhar Panca Dahana (budayawan). Dialog kebudayaan yang berlangsung pada 21 November 2012 di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, tersebut dimoderatori oleh Iwan Kurniawan (jurnalis).

Bambang menyampaikan bahwa seni budaya atau budaya berfungsi sebagai pengetahuan, alat diplomasi, dan juga berkaitan dengan ekonomi yang secara keseluruhan semuanya itu terkandung dalam UUD 1945. "Dalam hal ini, undang-undang dijadikan sebagai payung besar. Sejatinya memfasilitasi, jangan mengatur yang nanti isinya menjadi penyakit. Memberi fasilitas, lindungan, dan payung hukum," kata dia.

Menurut dia, yang paling penting adalah bagaimana mengawal titik singgung atau pertemuan antarbudaya lokal. Hal ini, kata dia, butuh strategi karena kalau dibiarkan begitu saja akan memicu konflik. Oleh sebab itu, dibutuhkan undang-undang kebudayaan sebagai acuan. "Saya berharap undang-undang kebudayaan ini ada pilar-pilar penting, seperti kesadaran bahwa kita sangat beragam, dan undang-undang tersebutlah yang mengatur bagaimana mengelola keberagaman. Menjadikan kearifan lokal menjadi kearifan nusantara (nasional). Saling memahami bahwa kita ini berbeda," ungkap dia.

Muh Hanif Dhakiri (anggota Komisi X DPR RI) menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan tingkat keberagaman etnik yang tinggi, kebinekaan atau pluralitas, adalah realitas yang tidak dapat dimungkiri. Sehubungan dengan realitas ini, kata dia, pembangunan di sektor kebudayaan harus bertumpu pada sistem sosial yang bercorak bhinneka dan pluralitas. Sementara itu, pengembangan kebudayaan yang sudah dilakukan sampai saat ini, menurut dia, belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena masih rentannya soliditas budaya dan pranata sosial yang ada dalam masyarakat sehingga potensi konflik belum sepenuhnya teratas.

"Saat ini kebudayaan nasional kita mendapat tantangan besar yang akumulatif, yaitu fundamentalisme agama dan pasar. Agama bisa berkembang karena menjadi proses kebudayaan. Demokrasi kita maju, intoleransi sosial semakin tinggi. Infundamentalisme ini masuk pada budaya. Fundamentalis pasar, sebagai sebuah bangsa kita tidak bisa menutup diri. Banyak hal di republik ini yang baik. Bagaimana memiara, mengelola, dan mengembangkannya sebagai nilai lebih," kata dia.

Budayawan Radhar Panca Dahana menyampaikan bahwa setelah kerap kali mengunjungi kota-kota yang ada di Indonesia, dia mendapatkan bukti betapa kesenian atau kebudayaan itu ampuh luar biasa. Proses pembudayaan Indonesia, menurut dia, dilakukan melalui sastra lisan, dituturkan. Menuturkan sebuah karya kemudian dicipta ulang oleh penutur berikutnya. Kerjanya menjadi kerja komunal. "Kalau personal, invidual kerap terpisah dari publiknya, dan ini yang kerap dilakukan oleh bangsa Barat. Sedangkan kesenian rakyat, siapa saja boleh datang. Menjadi peristiwa bersama, dalam hal ini seni menjadi peristiwa kolektif dan diwariskan. Sehingga ada nilai kuat yang terkandung yang membuat masyarakat menjadi kuat," ungkap Radhar.

Menurut Radhar, seni selalu menyusuaikan diri dengan tempo dan kemutakhiran. Hidup dengan artistik dan menjadi rekat dengan masyarakat. "Saya kira, sampai detik ini, semua rapat karena kebudayaan. Jangankan dengan kebudayaan atau budaya yang lain, hanya dengan sastra tutur saja kita bisa kuat dan menang.

Dia menambahkan banyak hal dan faktor kebudayaan yang menjadi landasan bangsa ini. "Jadi, aspirasi daerah itu harus diakomodasi jangan lewat partai. Di sinilah kesempatan kalu mau kita bangun bangsa secara bersama-sama melalui budaya karena dengan budayalah kita menjadi besar dan kuat," ungkap Radhar.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106411http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106411