Written by Riyadhus Shalihin
|
17 November 2012
Pertunjukan RAMBUT PALSU, karya Peter Karvas oleh Teater Cassanova
Pada
kebermulaannya teater adalah sebuah kebersamaan yang saling meluruhkan
tubuh dalam sebuah entitas yang saling telanjang. Teater merespon
“ketidaktahuan teks”dalam sebuah media yang paling intim, yaitu tubuh.
Era sentralisasi seni yang cenderung meniadakan “gejala” di luar dirinya
(Romantisisme seni) masih “menggejala” pada hari ini, yaitu bahwa
kebenaran dunia hanya dapat ditunjukkan melalui perbendaharaan
kebudayaan salah satunya seni, khususnya teater. Kemiskinan konteks ini
menjadi dalih bahwa seni masih sanggup menginterupsi ruang normatif,
padahal senyatanya masalah geo-politik di luar kesenian sudah sangat
“interupsionis” terhadap keseharian masyarakat. Seperti halnya dunia
sains telah begitu “tragis” semenjak ditemukannya virus ebola, kebocoran
lubang ozon, bayi tabung dan Bank sperma, lalu hal “teatrikal” apalagi
yang mesti diciptakan ulang oleh seniman.
Kesadaran
membaca “Otherness” yang mulai ditinggalkan oleh visi-misi berkesenian
para seniman mengakibatkan“kemandulan konteks”, dan “kemiskinan
adaptasi” akhirnya menggerogoti diri kesenian itu sendiri, dan akhirnya
seni mulai ditinggalkan masyarakat karena banyak hal-hal yang lebih
tragis terjadi dengan cepat di luar wacana tentang seni. Namun dalam
pertunjukan teater “RAMBUT PALSU” karya Peter Karvas yang dipentaskan
oleh kelompok Teater Cassanova di GK Dewi Asri STSI Bandung pada tanggal
23 Oktober 2012 adalah proses mengkaji sekaligus mencipta ulang
romantika seni, mereka menyiasati ketertinggalan seni khususnya teater
pada saat ini dengan menggunakan “strategi konteks”.
Penyadaran
organisasi konteks itu dapat kita lihat dari peluruhan “keagungan
menara teater” itu sendiri, teater bersentuhan secara langsung dengan
denyut masyarakatnya secara luas, teater kembali menjadi heterogen
justru karena “keagungan itu diingkari oleh teater”. Keruntuhan menara
gading teater dijadikan sebuah ruang tanpa batas “homo-hetero” dalam
pertunjukan RAMBUT PALSU, mari kita lihat bagaimana proses pemecahan
“kemiskinan konteks” yang melanda dunia kekinian coba direformulasi oleh
pertunjukan ini.
Pemusatan yang Terpecah-Pecah
Secara
adaptatif keterpecahan sudah dimulai dengan hadirnya revolusi
komunikasi yang ditandai dengan munculnya handphone dan juga internet,
serta perangkat canggih telekomunikasi lainnya, akhirnya kebudayaaan dan
kesenian kita tidak lagi ditentukan oleh sistem keterpusatan namun
oleh retakan dan pecahan komunikasi yang tersebar. Maka persepsi teater
tidak lagi bisa seragam karena dia telah melewati proses keterpecahan
komunikasi yang beragam, negatifnya adalah bahwa ketidak-terpusatan ini
menjadikan ontologi teater tercerai berai, menjadi buih yang beragam
namun juga cepat hilang, hingga pusat menjadi kosong dan kering, sebab
telah direbut oleh pecahan-pecahan informasi di luar dirinya.
Menyiasati
keterpecahan itu pertunjukan RAMBUT PALSU memakai sistem “tanpa pusat”
justru untuk “memusatkan keterpecahan”. Praksisnya kita dapat melihat
dari berbagai kalangan yang hadir dalam pertunjukan rambut palsu,
berbagai kalangan tersebut menjadi penanda dari kemacetan penonton
teater yang melulu hanya ditonton jika tidak oleh orang teater itu
sendiri, seniman atau paling tidak orang yang pernah memiliki relasi
dengan kegiatan teater, selanjutnya adalah kesunyian publik teater yang
hanya berkutat di sekitar dirinya.
RAMBUT
PALSU dari perspektif relasi seniman dan penonton telah berhasil
menyedot “dunia ketiga” yang terpecah-pecah tersebut dalam sebuah
“keintiman ala teater yang memusatkan”. Ini adalah strategi yang tentu
menjadi salah satu tawaran bagaimana teater bersentuhan dengan berbagai
keterpecahan informasi, bagaimana seniman selain sebagai penyaji juga
pengkaji yang mengolah strategi dalam menghadapi realitas tesebut.
Publik Teater Pasca-Drama
Secara
bentuk RAMBUT PALSU adalah konvensi drama yang amat akademis, ini dapat
dilhat dari begitu “matematis-nya” struktur drama yang berbau BABAK
juga EPISODIK, namun Wanggi Hoediyatno sebagai Sutradara tidak hanya
ingin menyuguhkan dunia keteraturan tersebut secara mentah, dia mencoba
menggagas pengalaman tekstual akademisnya dengan pengalaman konteksual
kesenimanannya, sebagai salah satu produk resmi akademi teater yang
formalistik, Sutradara Wanggi Hoediyatno dan Penata artistik Rackasiwa
Priwansa sudah lebih dahulu dikepung oleh berbagai proses pemusatan yang
berorientasi pada pedagogi yang drama-sentris, ini adalah penciptaan
yang paradoks sebab menyejarah dalambegitu panjangnya kesimpang-siuaran
antara drama dan teater di indonesia, hingga mengapa akhirnya teater
modern indonesia selalu berbau “Drama”, meski sejarah teater-nya telah
panjang terbentuk sebelum lahir kebiasaan mencatat (drama) dan menghapal
drama ini hadir. RAMBUT PALSU sendiri adalah drama yang ditulis oleh
Peter Karvas yang bercerita tentang sejarah pembantaian ummat Yahudi
yang direka oleh Kaum Nazi, namun secara alegoris pengaburan atas campur
tangan seni diproyeksikan dengan Nazi sebagai“kaum berambut”dan yahudi
sebagai “kaum botak”, kemuliaan aryasentrisme ditunjukkan dengan RAMBUT
dan ketidak-muliaan Yahudi ditandai dengan TANPA RAMBUT.
Wanggi
Hoediyatno yang dikenal sebagai seniman pantomime ini membuat sebuah
ruang kreasi baru, yang saya sebut adalah “serba-serbi performance
pasca-drama”, ini dapat kita lihat dari awal kehadiran menonton,
bagaimana pertunjukan yang diadakan di Gedung kesenian Dewi Asri STSI
Bandung dibuat sangat berwarna secara bentuk dan praksis, pada jalan
yang dipakai untuk memasuki GK Dewi Asri kita disuguhi oleh motor-motor
besar ala eropa kuno yang menandakan sebuah perburuan kaum-kaum botak.
Raungan dari motor sebagai sihir pertama teater, manjur mengundang rasa
ketertarikan pada apa yang akan terjadi selanjutnya, mengolah rasa
kepenasaranan yang dimiliki oleh reka-kreasi seniman berhasil membuat
sesak dan penuh oleh penonton di latar parkrir GK Dewi Asri, lalu
setelah itu kita memasuki gedung bawah Dewi Asri yang sudah dipersiapkan
dengan instalasi-instalasi mayat-mayat yang diwarnai dengan bambu-bambu
runcing mengoyak daging-daging korban pembantaian, sebuah sawah mayat,
tentu dengan tembakan mutimedia bergambar korban-korban yahudi yang
orisinil sebagai salah satu tanda keterpecahan antara kemurnian teater
dan sebuah dunia visual yang kini menjadi entitas baru dalam pengucapan
tekhnik seni teater.
Lalu
kita menuju ruang utama pertunjukan di mana terlihat pembagian
keterpecahan tersebut berlanjut dalam ruang utama pentas, di sana penata
artistik Rackasiwa Priwansa membagi elemen pentasnya menjadi 3 hall
utama, yaitu kantor para tentara kaum berambut, dia rupakan dengan
bentuk kantor yang kelam dan kaku, padat dengan bebatuan granit yang
keras dan mengancam, lalu tempat kaum botak yang dihadirkan di
tengah-tengah penonton seperti sebuah “interupsi ruang” yang tiba-tiba
hadir di samping penonton, kenyamanan yang biasanya hadir dalam hubungan
komunikasi yang saling mengamankan, tekhnik normal dimana penonton aman
dan nyaman menonton teater, aktor nyaman melakukan aksinya di buat
tidak-netral oleh Wanggi.
Ruang
musikal sendiri menjadi olah atraksi yang cukup kreatif, penempatan
pemusik yang kali ini dibuat seperti mini-orkestra yang dibuat
berdekatan dengan kursi penonton secara bersama-sama mencairkan
ketegangan yang telah terpecah-pecah, bagaimana ruang penahanan, kantor
dan tempat musik menjadi sangat menyatu sekaligus terpecah, realitas
dunia ketiga telah masuk menjelajahi bentuk teater, nilai positif yang
dapat diambil dari keterpecahan komunikasi betul-betul disadari dan
diolah dengan baik oleh sang penggarap. Lalu kita lihat Bagaimana
inti-drama yang menaruh kekuatan akting sebagai narasi sihir ini
dimainkan? Aktor yaitu Ad Akbar, Wail Irsyad, Wawan, Aldino dan Ridwan
Anugerah mempresentasikan kejenakaan tentang pembantaian manusia dengan
intensitas laku yang sederhana, fase demi fase.
Fase
komikal dapat kita lihat dari perwujudan Wail Irsyad yang dengan serius
mengolah mimik aktingnya dalam sebuah konfigurasi ajudan yang
mentah-mentah menaati jendralnya, dia sangat setia dan juga mengolah
tubuhnya secara intensif. Pergerakannya amat naturalistik, dengan
takaran yang bertumbuh, lalu kita lihat bagaimana Ad Akbar yang
memainkan Jendral Hog bermain dalam keteraturan seorang Jerman-barbar,
jendral tua tersebut bergoyang, berjungkit, juga mengalun dalam
representasi kecapaian dan kelelahan, yang dia sampaikan secara clowny,
peran-peran tersebut menjadi sangat sinergis dengan tembak menembak
antara musik dan akting, terjadi kesatuan yang justru mengembalikan
khazanah kelenturan seni pertunjukan seperti teater tradisi longser jawa
barat, teater ketoprak di betawi atau bahkan “commedia d’la arte” di
Itali yang begitu kaya akan spontanitas, hanya bedanya spontanitas
RAMBUT PALSU, adalah spontanitas yang direncanakan dan dilatihkan.
Akhirnya
pertunjukan ini menjadi tidak berbatas, dan terlihat tanpa babak,
sangat halus dan menjanjikan sebuah peristiwa teater yang membumi dan
tidak berpretensi memuliakan teater sebagai menara gading, keseragaman
dan pemusatan yang memasung “the otherness.” Memang sudah seharusnya era
dunia ketiga, ditanggapi dan diakhiri oleh praktisi teater dengan
strategi dan siasat keterpecahan, agar komunikasi yang semakintanpa
pusat di era ini dapat kita ambil nilai positifnya, bagaimana
konsentrisme teater yang gagap berhadapan dengan dunia televisi dan film
dikaji secara bermain-main, tidak tegang namun justru memanfaatkan
jejaring mereka. Perlu ada kesadaran bahwa kebudayaan tidak lagi
bersumber dari penciptaan seni saja namun menyejarah berjejaring luas,
terkait dengan kondisi politik dan sains yang lebih radikal.
Penulis: Riyadhus Shalihin
Foto: May Lodra Nurohma
http://www.indonesiaseni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=821:mengingkari-keagungan-teater&catid=13:peristiwa-pertunjukan&Itemid=39